TAMANSARI,(GM)-
Berdasarkan hasil penghitungan hisab, 1 Ramadan 1431 Hijriah atau puasa pertama akan jatuh pada 11 Agustus 2010. Sementara 1 Syawal/Hari Raya Idulfitri akan jatuh tepat pada 10 September.
Demikian disampaikan oleh dosen ilmu falak Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba), Tb. Hadi Sutiksna dalam diskusi panel "Hisab dan Rukyat; Antara Teori dan Praktik" yang diselenggarakan Fakultas Syariah Unisba bekerja sama dengan Lembaga Studi Islam (LSI) di aula Unisba, Jln. Tamansari No. 1 Bandung, Selasa (3/8).
"Hitungan dengan hisab hasilnya relatif akurat karena menggunakan data astronomis internasional yang selalu diperbaharui setiap tahun. Misalnya dengan almanak nautika dan ephemeris, hisab rukyat. Tidak kalah pentingnya adalah dengan kondisi bulan yang bersahabat," ujarnya.
Dijelaskan, berdasarkan hisab tersebut bulan dan matahari akan berada dalam satu garis/sejajar (kondisi bulan mati, tidak ada cahayanya yang dapat dilihat dari bumi) atau yang disebut dengan ijtimak/konjungsi jatuh pada 10 Agustus pukul 10.09 WIB. Ketinggian hilal (penampakan bulan dengan mata telanjang yang paling awal terlihat menghadap bumi setelah bulan mengalami konjungsi) di atas ufuk saat matahari terbenam adalah 2 derajat 54 menit dan azimut di 281 derajat 18 menit.
"Garis hilalnya sendiri bias, meski cuaca nanti akan baik. Namun, Indonesia yang memiliki kondisi kelembaban udara sangat tinggi akan turut berpengaruh. Dengan demikian maka 1 Ramadan akan jatuh pada 11 Agustus," katanya.
Sementara penetapan 1 Syawal yang katanya jatuh pada 10 September, berdasarkan bahwa ijtimak terjadi pada 8 September pukul 18.02 WIB. Ketinggian hilal akan terjadi pada -2 derajat 2 menit (di bawah ufuk). Sementara pada 9 September ketinggian hilal 11 derajat dan azimut 266 derajat 18 menit. "Pada 8 September, bulan terbenam mendahului matahari. Dengan demikian, hilalnya akan terlihat konteksnya," tuturnya.
Perhitungan tersebut, katanya, telah disampaikan pada Kementerian Agama (Kemenag) RI sebagai bahan rujukan. Sebab, pemerintah c.q. Kemenag harus melakukan pemantauan/pengecekan hilal di tiga tempat, yakni Palabuhanratu, Cakung, dan Nusa Tenggara Timur sebelum ditetapkan melalui rukyat.
Kriteria yang digunakan pemerintah adalah dengan menggunakan imkan rukyat, yakni ketinggian hilal minimal 2 derajat, umur bulan, dan saat ijtimak 8 jam serta jarak antara matahari dan bulan minimal 3 derajat. Hal itu juga dilakukan oleh negara yang tergabung dalam MABIMS, yakni menteri-menteri agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
"Jika tinggi hilal di awal Ramadan dan 1 Syawal di atas 2 derajat, maka peluang untuk puasa dan Lebaran bersama menjadi sangat besar. Meski hilal pada ketinggian sampai 4 derajat masih sulit untuk dirukyat," ucapnya.
Berbeda dengan Arab Saudi
Dosen syariah Unisba, Dr. Tamyiez Dery, M.Ag. menambahkan, dengan hitungan di atas maka saat ini seharusnya masyarakat muslim tidak lagi mengacu pada yang ditetapkan di Arab Saudi. Sebab, sebagian umat muslim di Indonesia selalu menyamakan waktu awal Ramadan dan Syawal dengan Arab.
Secara keilmuan, penyamaan tersebut sangatlah salah besar. Sebab, setiap jam hilal akan naik setengah derajat. Hilal di setiap daerah juga berbeda. Misanya saja, jika di wilayah timur hilal akan berada di 6 derajat, sementara di barat berada di 1 derajat.
"Maka jangan aneh jika Lebaran di Arab akan lebih dulu ketimbang di Indonesia. Hal itu juga terlihat dengan waktu salat zuhur misalnya. Jika disamakan dengan Arab, kan tidak mungkin salat zuhur di Indonesia pada pukul 15.55 WIB. Jadi umat muslim perlu diberikan lagi tambahan ilmu agamanya," tuturnya. (B.107)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar